Jumat, 18 Desember 2015

Melimpahnya Potensi Bisnis Kabupaten Sumedang

Berada di antara dua kota besar yakni Bandung dan Cirebon, ternyata tidak membuat Kabupaten Sumedang kalah bersaing dengan daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat. Berbagai macam potensi unggulan pun berhasil disuguhkan masyarakat setempat sehingga perekonomian daerah tersebut semakin hari semakin meningkat pesat.
Memiliki luas wilayah sekitar 1.522,2 km2, secara administratif Kabupaten Sumedang membawahi 26 kecamatan yang di dalamnya terdapat kurang lebih 1.091.674 penduduk, dan jumlahnya setiap tahun mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Indramayu di bagian utara, Kabupaten Majalengka di sebelah timur, Kabupaten Garut di bagian selatan, dan Kabupaten Subang di sebelah barat, membuat sebagian besar Kabupaten Sumedang merupakan daerah pegunungan dan sebagian kecil merupakan dataran rendah di bagian utara Sumedang. Kondisi inilah yang menjadikan Kabupaten Sumedang memiliki potensi bisnis cukup melimpah.
Kira-kira apa saja potensi bisnis yang bisa kita temukan di Kabupaten Sumedang? Mari kita simak bersama beberapa sektor unggulan daerah Sumedang yang bisa kita angkat sebagai peluang bisnis baru yang cukup potensial.
Potensi kuliner khas Sumedang
Seperti kita ketahui bersama, daerah Sumedang memiliki beranekaragam makanan khas yang diminati masyarakat lokal, nasional, bahkan internasional. Produk unggulannya tahu sumedang bahkan sudah menjadi buah tangan wajib bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut. Selain itu, ada juga ubi cilembu yang manis dan pulen dibudidayakan di Kecamatan Tanjungsari, sale pisang yang diproduksi masyarakat Panyingkiran Kabupaten Sumedang, salak cipondoh yang mulai dibudidayakan masyarakat Desa Bongkok Kecamatan Congeang, serta sawo citali yang menjadi produk unggulan Desa Sukatali Kecamatan Situraja, Sumedang.tahu sumedang
Potensi agrobisnis Kabupaten Sumedang
Didominasi oleh daerah pegunungan, membuat daerah Sumedang memiliki lahan pertanian dan perkebunan yang cukup menjanjikan. Bahkan sebagian besar penduduk Sumedang menjadikan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian mereka sehari-hari. Jumlah produksi padi di Kecamatan Buahdua, Cinggeang, Jati Gede dan Tomo, mencapai 408.643 ton pada tahun 2006. Sumedang juga menghasilkan palawija seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang hijau, kedelai dan kacang tanah untuk mencukupi kebutuhan lokal dan beberapa daerah lainnya di sekitar kabupaten tersebut. Disamping itu, beberapa daerah di Kabupaten Sumedang juga kaya akan sayuran dan buah-buahan. Mulai dari cabe merah, bawang merah, cabe rawit, kubis, ketimun, sampai aneka macam buah-buahan segar, tersebar di berbagai kecamatan sehingga tidak heran bila sebagian besar masyarakat mulai memanfaatkan potensi tersebut untuk mendatangkan untung besar setiap bulannya.
Potensi peternakan di Daerah Sumedang
Hasil ternak di daerah Sumedang ternyata tidak kalah potensial bila dibandingkan dengan sektor pertanian yang cukup mendominasi daerah tersebut. Selama ini hewan ternak yang dikembangkan masyarakat antara lain sapi pedaging, sapi perah, kerbau, kuda, domba, serta hewan unggas (seperti ayam buras, itik, dan lain-lain). Populasi sapi Sumedang mencapai 29.840 ekor dan tersebar di Kecamatan Jatigede, Jatinunggal, dan Pamulihan. Sedangkan untuk domba banyak ditemukan di daerah Cimanggu, dan Pamulihan.
Semoga informasi melimpahnya potensi bisnis Kabupaten Sumedang ini bisa memberikan manfaat bagi para pembaca dan menginspirasi seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut serta mengembangkan segala potensi yang ada di daerahnya. Maju terus UKM Indonesia dan salam sukses.

Kamis, 17 Desember 2015

Kepala BPKP: Jangan Sampai Dana Desa Jadi "Bencana"

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Ardan Adiperdana mengatakan, p dana desa yang semakin besar perlu dikelola dengan baik dan akuntabel.

Ia mengingatkan agar besaran dana desa tersebut tidak menjadi "bencana" bagi pemerintah-pemerintah desa.

"Pemberian dana ke desa yang begitu besar menutut tanggungjawab yang besar pula. Besarnya dana jangan sampai jadi bencana bagi aparatur desa. Pemerintah Desa harus bisa menerapkan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa," ungkap Ardan dalam sambutannya di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Jumat (6/11/2015).

Pada 2015 ini pemerintah mengalokasikan dana desa sebesar Rp 27,7 triliun untuk 74.00 desa di Indonesia. Dana desa tersebut, menurut Ardan, bahkan akan terus bertambah lebih dari Rp 1 miliar per desa.

Pendapatan dana desa juga masih disertai alokasi dana desa, dana bagi hasil, pajak retribusi daerah dan bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi atau Kabupaten Kota.

Untuk dapat menerapkan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa, lanjut Ardan, diperlukan sumber daya dan sarana pendukung. Misalnya, sumber daya manusia yang kompeten serta dukungan Teknologi Informasi yang memadai.

BPKP juga meluncurkan sistem aplikasi tata kelola keuangan desa yang dibuat untuk mengawal akuntabilitas pengelolaan keuangan desa serta monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan desa.

Namun, Ardan menambahkan, untuk menjalankan sistem tersebut tetap diperlukan pemahaman aparatur pemerintah desa untuk dapat melaksanakan tata kelola keuangan yang baik.

"Aparatur pemerintah dan badan kepengurusan desa harus memiliki pemahaman serta kemampuan untuk melaksanaan pengelolaan keuangan desa," kata dia.

Oleh karena itu, hari ini BPKP membuat nota kesepahaman dengan Kementerian Dalam Negeri untuk bersama-sama menyusun petunjuk teknis dalam mengimplementasikan aplikasi pengelolaan keuangan desa dan monitoring pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.

"Diharapkan ini menjadi langkah awal untuk kerjasama dan terwujudnya pemerintah desa yang bersih. Koordinasi akan terus dilakukan secara berkelanjutan dan lebih terintegrasi," tutur Ardan.

Menteri Marwan Beberkan 6 Hambatan UU Desa

Berlakunya Undang-undang No.6/2014 tentang Desa memberi harapan dan peluang bagi Desa untuk membangun dan menata desa secara mandiri. Namun banyak hambatan yang membuat implementasi UU Desa tak berjalan optimal.
Dalam acara Rembug Nasional Desa Membangun Indonesia di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (15/12), Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar memaparkan sedikitnya enam hambatan implementasi UU Desa.
Pertama, adanya fragmentasi penafsiran Undang-Undang Desa di tingkat elit yang berimplikasi pada proses implementasi dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan terhadap mandat Undang-Undang Desa.
Kedua, di tingkat pemerintahan Desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa. Dana Desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Desa belum digunakan secara optimal untuk menggali sumber pendapatan baru melalui investasi produktif yang dijalankan oleh masyarakat.
“Penggunaan Dana Desa masih melakukan replikasi atas “village project” sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur,” papar Menteri Marwan.
Ketiga, Menteri Marwan menyebutkan demokratisasi Desa masih menghadapi kendala praktek  administratif. Aparatur Pemerintah Daerah cenderung melakukan tindakan kepatuhan dari “Pusat” untuk mengendalikan Pemerintah Desa, termasuk dalamhal penggunaan Dana Desa. Padahal Undang-Undang Desa telah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif.
“Demokratisasi Desa juga terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari masyarakat Desa.Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah dapatberperan aktif untuk membina dan memberdayakan masyarakat Desa dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka,” tandasnya.
Permasalahan Keempat, lanjut Menteri Marwan, adalah masalah penguasaan rakyat atas tanah dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa. Masalah struktural seperti konflik agraria, kepastian hak Desa atas wilayahnya dan kedaulatan dalam mengatur ruang Desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan pemberdayaan Desa.
Kelima, Praktek pelaksanaan Musyawarah Desa cenderung patriarki, peran perempuan mengalami marjinalisasi ketika mereka menyampaikan usulan yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.
Persoalan terakhir adalah  tata ruang kawasan perdesaan yang harus tunduk dengan tata daerah cenderung tidak sesuai dengan aspirasi desa. Pembangunan Desa skala lokal terkendala dengan pola kebijakan Tata Ruang Perdesaan yang berpola “top-down”. Hal ini tidak jarang menyebabkan Desa kehilangan akses sumber daya akibat kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi Desa,” tutupnya.
Dengan adanya kegiatan rembug nasional desa membangun Menteri Marwan berharap bias menghasilkan konsensus mengenai sikap dan langkah terkait dengan implementasi Undang-undang desa secara lebih utuh dan substantive.

Rabu, 16 Desember 2015

PEMBANGUNAN DESA MANDIRI ENERGI

Bagian 1.
Akselerasi Pembangunan DME Berbasis Biogas Kotoran Sapi Perah
Perkuatan Jaringan dan Transformasi Informasi serta Teknologi secara Terintegrasi Dalam Pengembangan Desa Mandiri Energi, hal-hal yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan Satuan Kerja Biogas, antara lain bertujuan untuk :
  1. Mewujudkan program DME dari berbagai gagasan dan pengalaman semua pihak melalui forum latihan, kajian , informasi dan publikasi secara berkelanjutan.  
  2. Mengembangkan sistem pengelolaan data dan informasi desa mandiri energi berbasis Sumbedaya local.
  3. Memperkuat kesekretariatan serta meningkatkan efektivitas dalam peningkatkan pelayanan terhadap mitra dan masyarakat dengan merancang strategi baru dengan cara menghimpun pengalaman.
  4. Melakukan kajian isue secara kolaboratif bersama mitra dan masyarakat desa, untuk mendorong proses perubahan prilaku sosial yang partisipatif .
  5. Memperkuat efektivitas sebagai nilai tambah yang substantif terhadap program DME baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, maupun evaluasi.
  6. Melakukan kajian, advokasi terhadap kebijakan pengembangan DME untuk mendorong lahirnya kebijakan pemerintah yang responsif dan apresiatif.
d.r.odesha.doc

DIVERSIFIKASI ENERGI PEDESAAN BERBASIS SUMBER DAYA ENERGI LOKAL TERBARUKAN

Pemanfaatan Biogas Limbah Kotoran Sapi Sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti Minyak Tanah dan Energi Listrik


Latar Belakang

Pemanfaatan bahan bakar fosil (BBM) saat ini membutuhkan biaya yang sangat mahal sehubungan dengan semakin tingginya harga minyak dunia, disamping itu produksi minyak nasional saat ini tidak mencukupi kebutuhan akibatnya subsidi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak dari tahun ke tahun terus menunjukan peningkatan. Upaya untuk mengurangi subsidi minyak tanah telah dilakukan dengan konversi ke batu bara dan gas, namum dalam perjalanannya program tersebut tidak sepenuhnya memperoleh sambutan masyarakat, karena batu bara tidak praktis digunakan dan kadang sulit didapat dan penggunaan gas juga pada kondisi tertentu sangat sulit didapat.
Bagi masyarakat kecil, pengeluaran biaya bahan bakar gas dengan harga yang cukup mahal cukup menjadi beban, oleh karena itu minyak tanah tetap menjadi alternative yang dianggap paling layak. Bagi masyarakat pedesaan dimana kulturnya belum berubah kebutuhan bahan bakan dapat dipenuhi oleh kayu bakar. Meskipun secara financial sangat murah namun untuk mendapatkannya cukup memakan waktu dan tambahan tenaga kerja keluarga, bahkan untuk di Pulau Jawa untuk bahan bakar rumah tangga dengan intensitas yang tinggi telah menyebabkan rusaknya vegetasi tanaman dan menyebabkan penggudulan lahan dan memberikan kontribusi besar bagi terjadinya banjir dan longsor.
Diwilayah sentra peternakan sapi perah, saat ini pemanfaatan minyak tanah sangat tinggi, selain untuk kebutuhan masak keluarga juga untuk menghangatkan air untuk kepentingan pemerahan sapi. Penggunaan dinilai tidak praktis serta tidak cukup waktu untuk mencarinya. Karena peternak seharian waktunya akan habis untuk mencari rumput atau pengelola kandang, sedangkan pemanfaatan energi gas komersial sangat tidak mungkin karena jaringan pelayanan distribusi belum masuk kelokasi peternakan.
Dibeberapa wilayah dimana populasi sapi perahnya cukup banyak, sumber energi alternative biogas bila dimanfaatkan akan memberikan kontribusi sangat besar bagi penghematan bahan bakar minyak. Selain dari pada itu, limbah dari biogas sendiri dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organic bagi tanaman sayuran dan hortikultura. Adapun hambatan bagi peternak adalah :
1. Informasi tentang biogas masih sulit diakses oleh peternak
2. Pembangunan Instalasi Biogas dinilai sangat mahal
  1. Belum adanya informasi mengenai kelayakan teknis, social dan ekonominya yang dapat meyakinkan peternak, bahwa teknologi tersebut sangat murah, praktis dan mudah dan dapat digunakan secara berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar bagi peternak.
Sebagai langkah nyata dalam upaya PEMANENAN dan PEMANFAATAN energi alternative BIOGAS oleh masyarakat ( Peternak dan anggota masyarakat non peternak lainnya) dirancang REKAYASA SOSIAL ( Social Engineering) yaitu PEMBENTUKAN MODEL DESA SWADAYA BAHAN BAKAR dengan Memanfaatkan energi alternative Biogas Sapi Perah.
Model rekayasa social ini menjadi sangat penting, karena untuk memasyarakatkan penggunaan energi biogas lebih jauh, diperlukan informasi menyangkut aspek teknis, social, ekonomi dan keamanan untuk mengatasi hambatan pada tingkat pembangunan dan pemeliharaan instalasi, pemanenan dan pemanfaatan energi biogas tersebut oleh peternak dan masyarakat pada umumnya
Maksud dan Tujuan :
Maksud :
Mewujudkan suatu Kawasan Sentra Peternakan Sapi Perah, dengan target Peternak maupun Non Peternak mampu menyediakan kebutuhan energinya secara mandiri dengan memanfaatkan energi alternative BIOGAS
Tujuan :
Meningkatkan Ketersediaan energi alternatif bahan Bakar Berbasis Gas Bio sapi Perah bagi Peternak Sapi Perah serta anggota masyarakat lainnya di sentra peternakan sapi perah
Output :
Terpasangnya Instalasi Biogas sesuai dengan potensi optimal desa Haurngombong, baik itu digunakan oleh keluarga peternak maupun keluarga non peternak.
Pemasangan Instalasi Biogas Sapi Perah harus memenuhi kelayakan teknis, sosial dan ekonomi sehingga dapat diaplikasikan diwilayah sentra pengembangan sapi perah lainnya di Indonesia.
Outcome :
Dengan makin banyaknya dibangun Instalasi Biogas sapi perah diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata bagi penghematan Bahan Bakar Minyak artinya ada penghematan pengeluaran Rumah Tangga, lebih jauh diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Dalam skala ekonomi nasional, penggunaan Biogas lebih meluas dimasyarakat berdampak pada penghematan devisa import Bahan Bakar Minyak (BBM)

Dalam memenuhi kebutuhan energi untuk rumah tangga atau kegiatan usahanya, keluarga peternak memanfaatkan kayu bakar dan atau minyak tanah. Pada kondisi dimana kayu bakar semakin sulit didapat, maka sumber energi kayu bakar tidak bias diandalkan lagi. Sebagian peternak menggunakan minyak tanah namun minyak tanah sendiri distribusi dan volume masih dibatasi oleh pemerintah serta harga khususnya ditingkat eceran cukup mahal, artinya bahan bakar minyak tanah ini , makin memberatkan bagi peternak.
Kesimpulannya :

Kebutuhan energi/bahan bakar baik kayu bakar dan atau minyak tanah membutuhkan korbanan yang sangat besar dan begitu memberatkan bagi Petani/peternak atau masyarakat pada umumnya.