Berada di antara dua kota besar yakni Bandung dan Cirebon, ternyata
tidak membuat Kabupaten Sumedang kalah bersaing dengan daerah lainnya di
Provinsi Jawa Barat. Berbagai macam potensi unggulan pun berhasil
disuguhkan masyarakat setempat sehingga perekonomian daerah tersebut
semakin hari semakin meningkat pesat.
Memiliki luas wilayah sekitar 1.522,2 km2, secara
administratif Kabupaten Sumedang membawahi 26 kecamatan yang di dalamnya
terdapat kurang lebih 1.091.674 penduduk, dan jumlahnya setiap tahun
mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Berbatasan langsung dengan
Kabupaten Indramayu di bagian utara, Kabupaten Majalengka di sebelah
timur, Kabupaten Garut
di bagian selatan, dan Kabupaten Subang di sebelah barat, membuat
sebagian besar Kabupaten Sumedang merupakan daerah pegunungan dan
sebagian kecil merupakan dataran rendah di bagian utara Sumedang.
Kondisi inilah yang menjadikan Kabupaten Sumedang memiliki potensi
bisnis cukup melimpah.
Kira-kira apa saja potensi bisnis yang bisa kita temukan di Kabupaten
Sumedang? Mari kita simak bersama beberapa sektor unggulan daerah
Sumedang yang bisa kita angkat sebagai peluang bisnis baru yang cukup
potensial.
Potensi kuliner khas Sumedang
Seperti kita ketahui bersama, daerah Sumedang memiliki beranekaragam
makanan khas yang diminati masyarakat lokal, nasional, bahkan
internasional. Produk unggulannya tahu sumedang bahkan sudah menjadi
buah tangan wajib bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah
tersebut. Selain itu, ada juga ubi cilembu yang manis dan pulen
dibudidayakan di Kecamatan Tanjungsari, sale pisang yang diproduksi
masyarakat Panyingkiran Kabupaten Sumedang, salak cipondoh yang mulai
dibudidayakan masyarakat Desa Bongkok Kecamatan Congeang, serta sawo
citali yang menjadi produk unggulan Desa Sukatali Kecamatan Situraja,
Sumedang.
Potensi agrobisnis Kabupaten Sumedang
Didominasi oleh daerah pegunungan, membuat daerah Sumedang memiliki
lahan pertanian dan perkebunan yang cukup menjanjikan. Bahkan sebagian
besar penduduk Sumedang menjadikan sektor pertanian sebagai sumber mata
pencaharian mereka sehari-hari. Jumlah produksi padi di Kecamatan
Buahdua, Cinggeang, Jati Gede dan Tomo, mencapai 408.643 ton pada tahun
2006. Sumedang juga menghasilkan palawija seperti jagung, ubi kayu, ubi
jalar, kacang hijau, kedelai dan kacang tanah untuk mencukupi kebutuhan
lokal dan beberapa daerah lainnya di sekitar kabupaten tersebut.
Disamping itu, beberapa daerah di Kabupaten Sumedang juga kaya akan
sayuran dan buah-buahan. Mulai dari cabe merah, bawang merah, cabe
rawit, kubis, ketimun, sampai aneka macam buah-buahan segar, tersebar di
berbagai kecamatan sehingga tidak heran bila sebagian besar masyarakat
mulai memanfaatkan potensi tersebut untuk mendatangkan untung besar
setiap bulannya.
Potensi peternakan di Daerah Sumedang
Hasil ternak di daerah Sumedang ternyata tidak kalah potensial bila
dibandingkan dengan sektor pertanian yang cukup mendominasi daerah
tersebut. Selama ini hewan ternak yang dikembangkan masyarakat antara
lain sapi pedaging, sapi perah, kerbau, kuda, domba, serta hewan unggas
(seperti ayam buras, itik, dan lain-lain). Populasi sapi Sumedang
mencapai 29.840 ekor dan tersebar di Kecamatan Jatigede, Jatinunggal,
dan Pamulihan. Sedangkan untuk domba banyak ditemukan di daerah
Cimanggu, dan Pamulihan.
Semoga informasi melimpahnya potensi bisnis Kabupaten Sumedang ini
bisa memberikan manfaat bagi para pembaca dan menginspirasi seluruh
masyarakat Indonesia untuk ikut serta mengembangkan segala potensi yang
ada di daerahnya. Maju terus UKM Indonesia dan salam sukses.
Jumat, 18 Desember 2015
Kamis, 17 Desember 2015
Kepala BPKP: Jangan Sampai Dana Desa Jadi "Bencana"
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) Ardan Adiperdana mengatakan, p dana desa yang
semakin besar perlu dikelola dengan baik dan akuntabel.
Ia mengingatkan agar besaran dana desa tersebut tidak menjadi "bencana" bagi pemerintah-pemerintah desa.
"Pemberian dana ke desa yang begitu besar menutut tanggungjawab yang besar pula. Besarnya dana jangan sampai jadi bencana bagi aparatur desa. Pemerintah Desa harus bisa menerapkan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa," ungkap Ardan dalam sambutannya di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Jumat (6/11/2015).
Pada 2015 ini pemerintah mengalokasikan dana desa sebesar Rp 27,7 triliun untuk 74.00 desa di Indonesia. Dana desa tersebut, menurut Ardan, bahkan akan terus bertambah lebih dari Rp 1 miliar per desa.
Pendapatan dana desa juga masih disertai alokasi dana desa, dana bagi hasil, pajak retribusi daerah dan bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi atau Kabupaten Kota.
Untuk dapat menerapkan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa, lanjut Ardan, diperlukan sumber daya dan sarana pendukung. Misalnya, sumber daya manusia yang kompeten serta dukungan Teknologi Informasi yang memadai.
BPKP juga meluncurkan sistem aplikasi tata kelola keuangan desa yang dibuat untuk mengawal akuntabilitas pengelolaan keuangan desa serta monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan desa.
Namun, Ardan menambahkan, untuk menjalankan sistem tersebut tetap diperlukan pemahaman aparatur pemerintah desa untuk dapat melaksanakan tata kelola keuangan yang baik.
"Aparatur pemerintah dan badan kepengurusan desa harus memiliki pemahaman serta kemampuan untuk melaksanaan pengelolaan keuangan desa," kata dia.
Oleh karena itu, hari ini BPKP membuat nota kesepahaman dengan Kementerian Dalam Negeri untuk bersama-sama menyusun petunjuk teknis dalam mengimplementasikan aplikasi pengelolaan keuangan desa dan monitoring pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.
"Diharapkan ini menjadi langkah awal untuk kerjasama dan terwujudnya pemerintah desa yang bersih. Koordinasi akan terus dilakukan secara berkelanjutan dan lebih terintegrasi," tutur Ardan.
Ia mengingatkan agar besaran dana desa tersebut tidak menjadi "bencana" bagi pemerintah-pemerintah desa.
"Pemberian dana ke desa yang begitu besar menutut tanggungjawab yang besar pula. Besarnya dana jangan sampai jadi bencana bagi aparatur desa. Pemerintah Desa harus bisa menerapkan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa," ungkap Ardan dalam sambutannya di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Jumat (6/11/2015).
Pada 2015 ini pemerintah mengalokasikan dana desa sebesar Rp 27,7 triliun untuk 74.00 desa di Indonesia. Dana desa tersebut, menurut Ardan, bahkan akan terus bertambah lebih dari Rp 1 miliar per desa.
Pendapatan dana desa juga masih disertai alokasi dana desa, dana bagi hasil, pajak retribusi daerah dan bantuan keuangan dari Pemerintah Provinsi atau Kabupaten Kota.
Untuk dapat menerapkan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa, lanjut Ardan, diperlukan sumber daya dan sarana pendukung. Misalnya, sumber daya manusia yang kompeten serta dukungan Teknologi Informasi yang memadai.
BPKP juga meluncurkan sistem aplikasi tata kelola keuangan desa yang dibuat untuk mengawal akuntabilitas pengelolaan keuangan desa serta monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan desa.
Namun, Ardan menambahkan, untuk menjalankan sistem tersebut tetap diperlukan pemahaman aparatur pemerintah desa untuk dapat melaksanakan tata kelola keuangan yang baik.
"Aparatur pemerintah dan badan kepengurusan desa harus memiliki pemahaman serta kemampuan untuk melaksanaan pengelolaan keuangan desa," kata dia.
Oleh karena itu, hari ini BPKP membuat nota kesepahaman dengan Kementerian Dalam Negeri untuk bersama-sama menyusun petunjuk teknis dalam mengimplementasikan aplikasi pengelolaan keuangan desa dan monitoring pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.
"Diharapkan ini menjadi langkah awal untuk kerjasama dan terwujudnya pemerintah desa yang bersih. Koordinasi akan terus dilakukan secara berkelanjutan dan lebih terintegrasi," tutur Ardan.
Menteri Marwan Beberkan 6 Hambatan UU Desa
Berlakunya Undang-undang No.6/2014 tentang Desa memberi harapan dan
peluang bagi Desa untuk membangun dan menata desa secara mandiri. Namun
banyak hambatan yang membuat implementasi UU Desa tak berjalan optimal.
Dalam acara Rembug Nasional Desa Membangun Indonesia di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (15/12), Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar memaparkan sedikitnya enam hambatan implementasi UU Desa.
Pertama, adanya fragmentasi penafsiran Undang-Undang Desa di tingkat elit yang berimplikasi pada proses implementasi dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan terhadap mandat Undang-Undang Desa.
Kedua, di tingkat pemerintahan Desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa. Dana Desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Desa belum digunakan secara optimal untuk menggali sumber pendapatan baru melalui investasi produktif yang dijalankan oleh masyarakat.
“Penggunaan Dana Desa masih melakukan replikasi atas “village project” sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur,” papar Menteri Marwan.
Ketiga, Menteri Marwan menyebutkan demokratisasi Desa masih menghadapi kendala praktek administratif. Aparatur Pemerintah Daerah cenderung melakukan tindakan kepatuhan dari “Pusat” untuk mengendalikan Pemerintah Desa, termasuk dalamhal penggunaan Dana Desa. Padahal Undang-Undang Desa telah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif.
“Demokratisasi Desa juga terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari masyarakat Desa.Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah dapatberperan aktif untuk membina dan memberdayakan masyarakat Desa dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka,” tandasnya.
Permasalahan Keempat, lanjut Menteri Marwan, adalah masalah penguasaan rakyat atas tanah dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa. Masalah struktural seperti konflik agraria, kepastian hak Desa atas wilayahnya dan kedaulatan dalam mengatur ruang Desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan pemberdayaan Desa.
Kelima, Praktek pelaksanaan Musyawarah Desa cenderung patriarki, peran perempuan mengalami marjinalisasi ketika mereka menyampaikan usulan yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.
“Persoalan terakhir adalah tata ruang kawasan perdesaan yang harus tunduk dengan tata daerah cenderung tidak sesuai dengan aspirasi desa. Pembangunan Desa skala lokal terkendala dengan pola kebijakan Tata Ruang Perdesaan yang berpola “top-down”. Hal ini tidak jarang menyebabkan Desa kehilangan akses sumber daya akibat kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi Desa,” tutupnya.
Dengan adanya kegiatan rembug nasional desa membangun Menteri Marwan berharap bias menghasilkan konsensus mengenai sikap dan langkah terkait dengan implementasi Undang-undang desa secara lebih utuh dan substantive.
Dalam acara Rembug Nasional Desa Membangun Indonesia di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (15/12), Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar memaparkan sedikitnya enam hambatan implementasi UU Desa.
Pertama, adanya fragmentasi penafsiran Undang-Undang Desa di tingkat elit yang berimplikasi pada proses implementasi dan pencapaian mandat yang tidak utuh, bahkan mengarah pada pembelokan terhadap mandat Undang-Undang Desa.
Kedua, di tingkat pemerintahan Desa terjadi pragmatisme yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa. Dana Desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Desa belum digunakan secara optimal untuk menggali sumber pendapatan baru melalui investasi produktif yang dijalankan oleh masyarakat.
“Penggunaan Dana Desa masih melakukan replikasi atas “village project” sebelumnya yang bias pembangunan infrastruktur,” papar Menteri Marwan.
Ketiga, Menteri Marwan menyebutkan demokratisasi Desa masih menghadapi kendala praktek administratif. Aparatur Pemerintah Daerah cenderung melakukan tindakan kepatuhan dari “Pusat” untuk mengendalikan Pemerintah Desa, termasuk dalamhal penggunaan Dana Desa. Padahal Undang-Undang Desa telah mengakui kewenangan yang dimiliki oleh Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya secara demokratis dan partisipatif.
“Demokratisasi Desa juga terkendala oleh lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari masyarakat Desa.Pada dimensi inilah pemerintah dan pemerintah daerah dapatberperan aktif untuk membina dan memberdayakan masyarakat Desa dalam rangka meningkatkan kualitas partisipasi mereka,” tandasnya.
Permasalahan Keempat, lanjut Menteri Marwan, adalah masalah penguasaan rakyat atas tanah dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa. Masalah struktural seperti konflik agraria, kepastian hak Desa atas wilayahnya dan kedaulatan dalam mengatur ruang Desa belum tercermin dalam kebijakan pembangunan dan pemberdayaan Desa.
Kelima, Praktek pelaksanaan Musyawarah Desa cenderung patriarki, peran perempuan mengalami marjinalisasi ketika mereka menyampaikan usulan yang berkaitan dengan kepentingan tubuh, nalar, dan keberlangsungan hidupnya.
“Persoalan terakhir adalah tata ruang kawasan perdesaan yang harus tunduk dengan tata daerah cenderung tidak sesuai dengan aspirasi desa. Pembangunan Desa skala lokal terkendala dengan pola kebijakan Tata Ruang Perdesaan yang berpola “top-down”. Hal ini tidak jarang menyebabkan Desa kehilangan akses sumber daya akibat kebijakan tata ruang yang belum mengakomodir aspirasi Desa,” tutupnya.
Dengan adanya kegiatan rembug nasional desa membangun Menteri Marwan berharap bias menghasilkan konsensus mengenai sikap dan langkah terkait dengan implementasi Undang-undang desa secara lebih utuh dan substantive.
Rabu, 16 Desember 2015
PEMBANGUNAN DESA MANDIRI ENERGI
Bagian 1.
Akselerasi Pembangunan DME Berbasis Biogas Kotoran Sapi Perah
Perkuatan Jaringan dan Transformasi Informasi serta Teknologi secara Terintegrasi Dalam Pengembangan Desa Mandiri Energi, hal-hal yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan Satuan Kerja Biogas, antara lain bertujuan untuk :
Akselerasi Pembangunan DME Berbasis Biogas Kotoran Sapi Perah
Perkuatan Jaringan dan Transformasi Informasi serta Teknologi secara Terintegrasi Dalam Pengembangan Desa Mandiri Energi, hal-hal yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan Satuan Kerja Biogas, antara lain bertujuan untuk :
- Mewujudkan program DME dari berbagai gagasan dan pengalaman semua pihak melalui forum latihan, kajian , informasi dan publikasi secara berkelanjutan.
- Mengembangkan sistem pengelolaan data dan informasi desa mandiri energi berbasis Sumbedaya local.
- Memperkuat kesekretariatan serta meningkatkan efektivitas dalam peningkatkan pelayanan terhadap mitra dan masyarakat dengan merancang strategi baru dengan cara menghimpun pengalaman.
- Melakukan kajian isue secara kolaboratif bersama mitra dan masyarakat desa, untuk mendorong proses perubahan prilaku sosial yang partisipatif .
- Memperkuat efektivitas sebagai nilai tambah yang substantif terhadap program DME baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, maupun evaluasi.
- Melakukan kajian, advokasi terhadap kebijakan pengembangan DME untuk mendorong lahirnya kebijakan pemerintah yang responsif dan apresiatif.
DIVERSIFIKASI ENERGI PEDESAAN BERBASIS SUMBER DAYA ENERGI LOKAL TERBARUKAN
Pemanfaatan Biogas Limbah Kotoran Sapi Sebagai Sumber Energi Alternatif Pengganti Minyak Tanah dan Energi Listrik
Latar Belakang
Pemanfaatan
bahan bakar fosil (BBM) saat ini membutuhkan biaya yang sangat mahal
sehubungan dengan semakin tingginya harga minyak dunia, disamping itu
produksi minyak nasional saat ini tidak mencukupi kebutuhan akibatnya
subsidi untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak dari tahun ke tahun
terus menunjukan peningkatan. Upaya untuk
mengurangi subsidi minyak tanah telah dilakukan dengan konversi ke batu
bara dan gas, namum dalam perjalanannya program tersebut tidak
sepenuhnya memperoleh sambutan masyarakat, karena batu bara tidak
praktis digunakan dan kadang sulit didapat dan penggunaan gas juga pada kondisi tertentu sangat sulit didapat.
Bagi
masyarakat kecil, pengeluaran biaya bahan bakar gas dengan harga yang
cukup mahal cukup menjadi beban, oleh karena itu minyak tanah tetap
menjadi alternative yang dianggap paling layak. Bagi masyarakat pedesaan dimana kulturnya belum berubah kebutuhan bahan bakan dapat dipenuhi oleh kayu bakar. Meskipun
secara financial sangat murah namun untuk mendapatkannya cukup memakan
waktu dan tambahan tenaga kerja keluarga, bahkan untuk di Pulau Jawa
untuk bahan bakar rumah tangga dengan intensitas yang tinggi telah
menyebabkan rusaknya vegetasi tanaman dan menyebabkan penggudulan lahan
dan memberikan kontribusi besar bagi terjadinya banjir dan longsor.
Diwilayah sentra peternakan sapi
perah, saat ini pemanfaatan minyak tanah sangat tinggi, selain untuk
kebutuhan masak keluarga juga untuk menghangatkan air untuk kepentingan
pemerahan sapi. Penggunaan dinilai tidak praktis serta tidak cukup waktu untuk mencarinya. Karena peternak seharian waktunya akan habis
untuk mencari rumput atau pengelola kandang, sedangkan pemanfaatan
energi gas komersial sangat tidak mungkin karena jaringan pelayanan
distribusi belum masuk kelokasi peternakan.
Dibeberapa wilayah dimana
populasi sapi perahnya cukup banyak, sumber energi alternative biogas
bila dimanfaatkan akan memberikan kontribusi sangat besar bagi
penghematan bahan bakar minyak. Selain dari pada itu, limbah dari biogas sendiri dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organic bagi tanaman sayuran dan hortikultura. Adapun hambatan bagi peternak adalah :
1. Informasi tentang biogas masih sulit diakses oleh peternak
2. Pembangunan Instalasi Biogas dinilai sangat mahal
- Belum adanya informasi mengenai kelayakan teknis, social dan ekonominya yang dapat meyakinkan peternak, bahwa teknologi tersebut sangat murah, praktis dan mudah dan dapat digunakan secara berkesinambungan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar bagi peternak.
Sebagai
langkah nyata dalam upaya PEMANENAN dan PEMANFAATAN energi alternative
BIOGAS oleh masyarakat ( Peternak dan anggota masyarakat non peternak
lainnya) dirancang REKAYASA SOSIAL ( Social Engineering) yaitu PEMBENTUKAN MODEL DESA SWADAYA BAHAN BAKAR dengan Memanfaatkan energi alternative Biogas Sapi Perah.
Maksud dan Tujuan :
Maksud :
Mewujudkan
suatu Kawasan Sentra Peternakan Sapi Perah, dengan target Peternak
maupun Non Peternak mampu menyediakan kebutuhan energinya secara mandiri
dengan memanfaatkan energi alternative BIOGAS
Tujuan :
Meningkatkan Ketersediaan energi alternatif bahan Bakar Berbasis Gas Bio sapi Perah bagi Peternak Sapi Perah serta anggota masyarakat lainnya di sentra peternakan sapi perah
Output :
Terpasangnya
Instalasi Biogas sesuai dengan potensi optimal desa Haurngombong, baik
itu digunakan oleh keluarga peternak maupun keluarga non peternak.
Pemasangan
Instalasi Biogas Sapi Perah harus memenuhi kelayakan teknis, sosial dan
ekonomi sehingga dapat diaplikasikan diwilayah sentra pengembangan sapi
perah lainnya di Indonesia.
Outcome :
Dengan makin banyaknya
dibangun Instalasi Biogas sapi perah diharapkan mampu memberikan
kontribusi nyata bagi penghematan Bahan Bakar Minyak artinya ada
penghematan pengeluaran Rumah Tangga, lebih jauh diharapkan berdampak
pada peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Dalam
skala ekonomi nasional, penggunaan Biogas lebih meluas dimasyarakat
berdampak pada penghematan devisa import Bahan Bakar Minyak (BBM)
Dalam memenuhi kebutuhan energi untuk rumah tangga atau kegiatan usahanya, keluarga peternak memanfaatkan kayu bakar dan atau minyak tanah. Pada kondisi dimana kayu bakar semakin sulit didapat, maka sumber energi kayu bakar tidak bias diandalkan lagi. Sebagian
peternak menggunakan minyak tanah namun minyak tanah sendiri distribusi
dan volume masih dibatasi oleh pemerintah serta harga khususnya
ditingkat eceran cukup mahal, artinya bahan bakar minyak tanah ini ,
makin memberatkan bagi peternak.
Kesimpulannya :
Kebutuhan
energi/bahan bakar baik kayu bakar dan atau minyak tanah membutuhkan
korbanan yang sangat besar dan begitu memberatkan bagi Petani/peternak
atau masyarakat pada umumnya.
Langganan:
Postingan (Atom)